semut

; Indonesian Research and Vocational Education Certification (IRVEC) - IRVEC-EDU with SMK3 Program........................Indonesian Research and Vocational Education Certification (IRVEC) - IRVEC-EDU with SMK3 Program

Minggu, 13 November 2016

KAJIAN UNDANG UNDANG RUJUKAN DALAM IMPLEMENTASI SERTIFIKASI KOMPETENSI KERJA PENDIDIKAN VOKASI / KEJURUAN



Latar belakang,
Perjalanan panjang penataan, penyiapan Sumber Daya Manusia Indonesia,  Dalam kontek penguatan struktur perekonomian nasional peran pendidikan sebagai pemasok tenaga kerja atas kebutuhan industri yang memenuhi kebutuhan diberbagai sektor seyogyanya harus bekerja atas regulasi yang berlaku di sektor tersebut, sebaliknya sektor juga harus melakukan sinergitas dengan regulasi yang mengikatnya secara nasional sesuai dengan hak, tanggungjawab dan kewajiban nya.
Rentang waktu sejak UU NO. 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL serta PP No 19 ,2005 tentang BSNP  sampai dengan diterbitkannya PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 19 TAHUN 2005 TENTANG STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN, adalah cerminan belum optimalnya capaian pendidikan khusus nya pendidikan vokasi dan kejuruan dalam kontek penataan, penyiapan Sumber Daya Manusia Indonesia kompeten untuk penguatan struktur perekonomian nasional.
Dalam rentang waktu diatas berbagai proyek dan program memang sudah dilaksanakan seperti program SMK Bisa berhasil disisi kuantitatif, jumlah SMK menjadi berimbang dengan jumlah SMA namun tidak berhasil dalam capaian kompetensi pasar kerja di dalam skala kebutuhan industri , bahkan sektor tertentu menjadi kekurangan tenaga kerja kompeten dan yang jadi salah satu alasan  nya adalah ketidak harmonisan regulasi.
Penyelarasan Sebagai salah satu tahapan dalam program penyelarasan pendidikan dengan dunia kerja, perlu dilakukan inventarisasi kajian dan program terkait penyelarasan yang dilakukan oleh kementerian dan lintas lembaga / institusi lain. Inventarisasi ini diperlukan agar tidak terjadi overlap antara program dan kajian terkait penyelarasan lintas kementerian dan lembaga / institusi. Inventarisasi harus dilakukan melalui kunjungan (visitasi) oleh asisten Tim Teknis termasuk kajian regulasi sektor agar bisa dituangkan dalam komitmen harmonisasi MoU lintas sektor sebagai dokumen acuan 


Prinsip-prinsip Penyelarasan, Kerangka Kerja Penyelarasan, Sisi Permintaan (Demand Side), Sisi Pasokan (Supply Side), Mekanisme Penyelarasan Materi Sosialisasi Penyelarasan, program ini sudah lama berjalan namun publikasi hasil dalam rekomendasi implementasi untuk sertifikasi kompetensi tenaga kerja kompeten nampaknya masih belum selesai, karena itu harus ditindak lanjuti oleh tim teknis kompeten.sebagai Asisten Tim teknis ini harus terdiri dari orang yang memahami kompetensi sektor dan regulasi serta implementasi di dalam  sektor.
Program Kerangka Kerja Penyelarasan Pendidikan dengan Dunia Kerja Sumber Daya Manusia Indonesia kompeten di era MEA, menjadi kegundahan presiden RI, Djoko Widodo sebagai salah satu alasan sehingga tertbit nya Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2016, Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi Pendidikan Menengah Kejuruan dalam Rangka Peningkatan Kualitas dan Daya Saing Sumber Daya Manusia Indonesia membuat dan berimplikasi pada berbagai lembaga yang di perintahkan dalam inpres tersebut.
Dalam salinan inpres yang ditandatangani Deputi Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Sekretariat Kabinet, Nomor B 772/PMK/9/2016, 13 September 2016 tersebut, ditujukan kepada tiga pihak. Para menteri di Kabinet Kerja, Kepala Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dan seluruh gubernur.yakni 12 menteri Kabinet Kerja, 1 Kepala Lembaga Pemerintah Nonkementerian, dan 34 gubernur yang memperoleh instruksi presiden.
Ke 12 menteri tersebut ialah Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Mendagri, Menkeu, Mendikbud, Menristek Dikti, Menperin, Menaker, Menhub, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri BUMN, Menteri ESDM, dan Menkes.
Asisten Tim teknis, ini dibutuhkan untuk memahami langkah implementasi di lapangan  dengan kebijakan serta kesepakatan dan MoU antar sektor secara terprogram dan terencana  sampai dengan memjadi dokumen operasional yang harus di tanda tangani oleh otoritas terkait,
Contoh di bawah ini menyangkut sektor ketenagalistrikan dengan kegiatan belum terprogram dan terencana dengan baik sehingga lebih berarah pada kegiatan seporadis.
Pembentukan MGMP Ketenagalistrikan di Prov Jawa Barat. Untuk memudahkan kordinasi dan konsolidasi program.






Ini bagian tindak lanjut dari :
NOTA KESEPAHAMAN
ANTARA
DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN
KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
DAN
DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Serta
PERJANJIAN KERJA SAMA
ANTARA
DIREKTORAT TEKNIK DAN LINGKUNGAN KETENAGALISTRIKAN
DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN
KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
DAN
DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN
DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
TENTANG
PELAKSANAAN PENINGKATAN KOMPETENSI BIDANG KETENAGALISTRIKAN
PADA PESERTA DIDIK SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN

KOMPETENSI LULUSAN KETENAGALISTRIKAN YANG DIBUTUHKAN INDUSTRI, (PELUANG DAN TANTANGANNYA BAGI SMK.)
Meliputi tentang program kebutuhan tenaga kerja di ketenagalistrikan untuk  pemenuhan  Proyek listrik 35000 mw,  peluang dan tantangan SMK Program Studi Ketenagalistrikan yang dihadapi serta Langkah langkah yang sudah dilaksanakan dari mulai mensinergikan dunia industri  dan dunia pendidikan dengan me mediasi mou.
Sampai dengan menyiap kan draft program tindak lanjutnya yang sudah dan akan di komunikasikan kepada Ka.Disdik Prov Jabar. Kemudian yang harus fokus pada kompetensi yang dibutuhkan tenaga Kerja Industri Ketenagalistrikan sampai langkah langkah dan proses sertifikasi yang perlu dilaksanakan atas keberadaan Undang Undang No. 30 Tahun 2009 tentang  Ketenagalistrikan dan turunan nya seperti  PP, Permen yang mengikat pada orang yang bekerja dan terlibat serta industri sebagai pelaku usaha nya di bidang ketenagalistrikan yang dilanjutkan dengan tanya jawab dari tanya jawab tersebut, ada beberapa cacatan yang perlu jadi perhatian :
1. Peserta menganggap program  masih fokus pada  kebutuhan kompetensi untuk industri "seputar pln" sementara belum tampak industri lainnya yang juga perlu kejelasan misalnya generator dan motor listrik untuk indusri dan rumah tangga  maupun industri lainnya. Misalnya motor untuk otomotif, mesin mesin  pabrik dan lain lain dengan pelaku industri astra, textile companies dll. Termasuk juga yg sudah pernah di singgung di grup tentang kelistrikan di penerbangan, kemaritiman.
2. Selain kompetensi sebagai pekerja dibutuhkan juga kompetensi sebagai wira usaha. Sehingga tidak cukup hanya keterampilan teknis, tapi juga dibidang yagn terkait dengan bisnis kelistrikan.
3. Ada keingintahuan tentang anggaran dan pengunaannya di kementerian pendidikan dan jajarannya. Keinginan transparansi.
4. Kabid.Dikmenti didampingi Kasi PSMK yang membuka acara menyatakan MGMP akan dimanfaatkan sebagai forum yg bisa memberikan kontribusi dalam pembinaan smk.
Demikian, Laporan kegiatan irvec, dalam Presentasi IRVEC dan FGD dengan SMK Ketenagalistrikan Se Jawa Barat, Dalam Acara  Pembentukan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) Ketenagalistrikan Yang dilaksanakan pada Kamis 20 Okt 2016 jam 20.00 sd jam 22.00
Setelah Kegiatan tersebut harus diikuti dengan kegiatan kegiatan dalam urutan point point sebagai usulan seperti pada table berikut ini.
RENCANA KERJA PERCEPATAN PROGRAM PILOT PROJECT PKL DAN SERTIFIKASI KETENAGALISTRIKAN SMK DI JAWA BARAT,  BEKERJASAMA DINAS PENDIDIKAN PROVINSI JAWA BARAT DENGAN IRVEC, Tahun 2016.
 
NO
KEGIATAN
PIC
2016
OKT
NOP
DES
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
0
Persiapan Program PKL SMK













a
FGD DJK-Dirjen MK Diknas

8-9











b
FGD Diknas Jabar/ MGMP



19-21









c
Draft Penyelarasan Standar Kompetensi, Standar Latih Kompetensi dan Komponen C Kursil
IRVEC



























1
Jangka Pendek/Muatan Kurikulum C (Ilmu Listrik , Pengukuran, menggambar, SOP, k3 listrik)













a
Penyelarasan kursil kelas 1 tahun 2016/2017 (persiapan kursil akhir Nov’ 2016)
KASKUR












b
Penyiapan guru selesai (minggu ke 1-2 Nov’2016)
KASI PSMK












c
Penyiapan sarana dan peralatan praktek selesai (minggu ke 3-4Nov’2016)
KASI PSMK












d
PKL
KASI PSMK













  > Monitoring PKL




























2
Penyiapan Guru Praktek & Siswa PKL













a
Pemahanan proses bisnis ketenaga listrikan
KASI PSMK













    > Penjelasan probis ketenagalistrikan














    > Pengenalan lapangan (1 minggu)




























b
Penyusunan program kerja PKL
KASI PSMK













    > Buku Paduan














    > Kebutuhan APD














    > Lembar Kerja













c
Sosialisasi siswa PKL
KASI PSMK













    >  Proses bisnis ketenagalistrikan














    >  Sertifikasi Kompetenesi Teknik Ketenagalistrikan




























3
Pembahasan MOU dgn Industri













a
Kesepakatan PKL dgn Industri
KASI PSMK












b
Pencapaian kompetensi siswa PKL (pilihan standar kompetensi)
KASI PSMK












c
Pembahasan Mentor PKL Industri dan sekolah
KASI PSMK



























4
Pembahasan MOU dgn LSK













a
Kesepakatan sertifikasi dgn LSK
KASI PSMK












b
Pendaftaran siswa PKL sesuai P1 / P2
KASI PSMK












c
Kesepakatan penggunaan formulir fortofolio
KASI PSMK



























5
Pembahasan Rencana Kerja bersama Disdik Jabar  dgn IRVEC
IRVEC-KADISDIK JABAR












a
Usulan SMK 6 dan SMK 4 untuk ujicoba Program PKL 6 bln dan Sertifikasi













b
Usulan desain pembangunan laboratorium lapangan (APP; JTR; JTM dan Gardu)













c
Penugasan kepada IRVEC













 




















UU NO. 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Bagian Ketiga  Sertifikasi  Pasal 61 
1. Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi. 
2. Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap    prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah  Lulus ujian yang diseleng garakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi. 
3. Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan  lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu  setelah lulus uji kompetensi yang diselenggaraka oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2015
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 19 TAHUN 2005 TENTANG STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN
1. Standar Kompetensi Lulusan adalah kriteria mengenai kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
2. Standar Isi adalah kriteria mengenai ruang lingkup materi dan tingkat Kompetensi untuk mencapai Kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
3. Standar Proses adalah kriteria mengenai pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai Standar Kompetensi Lulusan.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG
KETENAGAKERJAAN
Pasal 18
(1) Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti
pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga
pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja.
(2) Pengakuan kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
 melalui sertifikasi kompetensi kerja.
(3) Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat pula diikuti
  oleh tenaga kerja yang telah berpengalaman.
(4) Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk badan nasional
    sertifikasi profesi yang independen.
(5) Pembentukan badan nasional sertifikasi profesi yang independen sebagaimana
    dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2004
TENTANG
BADAN NASIONAL SERTIFIKASI PROFESI
BAB II
PEMBENTUKAN DAN TUGAS
Pasal 2
(1)   Membentuk Badan Nasional Sertifikasi Profesi yang selanjutnya dalam Peraturan
       Pemerintah ini disebut dengan BNSP.
(2) BNSP merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugasnya dan
      bertanggung jawab kepada Presiden.

Pasal 3
BNSP mempunyai tugas melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja.

Pasal 4
 (1) Guna terlaksananya tugas sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, BNSP dapat memberikan lisensi kepada lembaga sertifikasi profesi yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian lisensi lembaga sertifikasi profesi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh BNSP

Selanjut melaksanakan untuk PENERAPAN PEDOMAN SISTEM SERTIFIKASI
PEDOMAN BNSP 201,202,  dst../ISO 17024

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 2012
TENTANG
SISTEM STANDARDISASI KOMPETENSI KERJA NASIONAL

Peraturan menteri ini menyangkut STANDARDISASI KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA dalam kontek :
PENGEMBANGAN SKKNI
Arah dan Kebijakan, Inisiasi dan Perumusan, Validasi dan Penetapan
PENERAPAN SKKNI
KAJI ULANG SKKNI
HARMONISASI STANDAR KOMPETENSI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 22
(1) Harmonisasi SKKNI ditujukan untuk keperluan rekognisi kompetensi antar berbagai pihak, baik di dalam maupun di luar negeri dengan prinsip kesetaraan.
(2) Harmonisasi SKKNI dilakukan dalam bentuk kesetaraan standar kompetensi, pengujian, sertifikasi, dan penandaan atau kodefikasi.
Pasal 23
(1) Harmonisasi SKKNI dilakukan oleh Komite Standar Kompetensi dengan tetap menjaga kesesuaiannya terhadap peraturan perundang-undangan dan/atau pengakuan internasional.
(2) Harmonisasi SKKNI dengan negara-negara mitra kerjasama, baik bilateral, regional maupun multilateral, dilakukan dalam kerangka kerjasama luar negeri di bidang ketenagakerjaan.
(3) Harmonisasi SKKNI dengan organisasi standardisasi kompetensi dilaksanakan dalam kerangka Sistem Standardisasi Kompetensi Kerja Nasional, dengan prinsip kesetaraan dan saling pengakuan.
Pasal 24
(1) Dalam penerapan SKKNI secara wajib, Instansi Teknis harus memperhatikan hasil harmonisasi yang dicapai dengan negara-negara mitra bisnis.
(2) Penerapan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi tenaga kerja Indonesia maupun tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia.
(3) Penerapan SKKNI secara wajib yang dapat mempengaruhi proses perdagangan barang atau jasa dalam kerangka General Agreement on Trade and Services, harus dinotifikasikan melalui Menteri yang bertanggung jawab di bidang perdagangan atau lembaga notifikasi yang ditunjuk oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang perdagangan.
Bagian Kedua
Registrasi Standar Khusus dan Standar Internasional
Pasal 25
(1) Standar Khusus dan/atau Standar Internasional dapat diajukan kepada Direktur Jenderal untuk diregistrasi setelah ditetapkan oleh otoritas instansi, perusahaan, atau organisasi.
(2) Standar Khusus dan/atau Standar Internasional yang telah diregistrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk pengembangan skema sertifikasi kompetensi kerja.
(3) Tata cara registrasi Standar Khusus dan/atau Standar Internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam keputusan Direktur Jendral.

BAB VI
PEMBINAAN DAN PENGENDALIAN
STANDARDISASI KOMPETENSI KERJA NASIONAL
Pasal 26
(1) Pembinaan dan pengendalian Standardisasi Kompetensi Kerja Nasional harus memastikan operasionalisasi Sistem Standardisasi Kompetensi Kerja Nasional secara terpelihara dan berkesinambungan.
(2) Pembinaan dan pengendalian operasionalisasi Sistem Standardisasi Kompetensi Kerja Nasional dilakukan oleh Instansi Teknis sesuai dengan otoritasnya dan dikoordinasikan oleh Menteri.
Pasal 27
(1) Pembinaan operasionalisasi penerapan Sistem Standardisasi Kompetensi Kerja Nasional meliputi pembinaan terhadap industri, asosiasi profesi, kelembagaan pendidikan dan pelatihan, dan kelembagaan sertifikasi profesi.
(2) Pembinaan terhadap industri mencakup penerapan SKKNI dalam rekrutmen berbasis kompetensi, evaluasi kompetensi dan pemeliharaan kompetensi tenaga kerja.
(3) Pembinaan terhadap profesi mencakup pembinaan pembelajaran sepanjang hayat berbasis kompetensi, perencanaan karir berbasis kompetensi, pengembangan asosiasi profesi dalam pemeliharaan kompetensi anggotanya.
(4) Pembinaan terhadap kelembagaan pendidikan dan pelatihan mencakup penerapan SKKNI dalam pengembangan kurikulum dan silabus berbasis kompetensi, pengembangan instruktur berbasis kompetensi, dan proses pembelajaran/pelatihan dan asesmen berbasis kompetensi.
(5) Pembinaan terhadap kelembagaan sertifikasi kompetensi mencakup penerapan SKKNI dalam pengembangan skema sertifikasi dan lisensi Lembaga Sertifikasi Profesi.

Pasal 28
(1) Pengendalian operasionalisasi penerapan Sistem Standardisasi Kompetensi Kerja Nasional dilakukan terhadap kelembagaan pendidikan dan pelatihan, kelembagaan sertifikasi, dan pengendalian penerapan wajib SKKNI.
(2) Pengendalian terhadap kelembagaan pendidikan dan pelatihan dilakukan dalam kaitannya dengan pengembangan program pelatihan berbasis kompetensi dan akreditasi lembaga pelatihan kerja.
(3) Pengendalian terhadap kelembagaan sertifikasi dilakukan dalam kaitannya dengan pengembangan skema sertifikasi dan lisensi Lembaga Sertifikasi Profesi.
(4) Pengendalian penerapan SKKNI secara wajib dilakukan instansi teknis dalam lingkup otoritasnya.
BAB VII
PENDANAAN SISTEM
STANDARDISASI KOMPETENSI KERJA NASIONAL
Pasal 29
Pendanaan Sistem Standardisasi Kompetensi Kerja Nasional bersumber dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dialokasikan di setiap Instansi Teknis.
b. Partisipasi masyarakat atau pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
. PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 2012
TENTANG
TATA CARA PENETAPAN
STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA

Pasal 2
Peraturan Menteri ini bertujuan untuk memberikan acuan kepada Instansi Teknis dan pemangku kepentingan dalam penyusunan, penetapan dan kaji ulang SKKNI di sektor atau lapangan usaha masing-masing.
BAB II
KELEMBAGAAN
Pasal 3
Kelembagaan pengembangan standar kompetensi terdiri atas Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Instansi Teknis, Komite Standar Kompetensi, Tim Perumus SKKNI dan Tim Verifikasi SKKNI.

Pasal 4
(1) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 memiliki peran dan fungsi:
a. pembinaan umum dan teknis pengembangan SKKNI secara nasional;
b. penetapan norma dan kebijakan nasional pengembangan SKKNI;
c. pengkoordinasian dan fasilitasi pengembangan SKKNI di sektor atau lapangan usaha; dan
d. penetapan SKKNI
(2) Instansi Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 memiliki peran dan fungsi di sektor atau lapangan usaha masing-masing, meliputi:
a. pengembangan SKKNI;
b. koordinasi dan fasilitasi pengembangan SKKNI;
c. penetapan pemberlakuan SKKNI; dan
d. pembentukan Komite Standar Kompetensi.

Pasal 5
(1) Komite Standar Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 memiliki peran dan fungsi di sektor atau lapangan usaha masing-masing, meliputi:
a. penyusunan RIP SKKNI ;
b. pembentukan Tim Perumus dan Tim Verifikasi SKKNI;
c. penilaian usulan penyusunan SKKNI;
d. pengembangan SKKNI;
e. penyelenggaraan Pra Konvensi dan Konvensi Rancangan SKKNI; dan
f. pemantauan dan kaji ulang SKKNI.
(2) Komite Standar Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh Instansi Teknis dengan susunan organisasi dan keanggotaan sebagai berikut:
a. Pengarah;
b. Ketua merangkap anggota;
c. Sekretaris merangkap anggota;
d. Anggota, yang jumlahnya sesuai dengan kebutuhan yang merepresentasikan unsur Instansi Teknis yang bersangkutan, Instansi Teknis terkait, perusahaan atau asosiasi perusahaan, asosiasi profesi, lembaga atau asosiasi lembaga pendidikan dan pelatihan, Lembaga Sertifikasi Profesi, serikat pekerja dan/atau pakar kompetensi.
(3) Komite Standar Kompetensi didukung oleh sekretariat, dengan tugas memberi dukungan teknis dan administratif.
(4) Komite Standar Kompetensi dan sekretariat didukung pendanaan yang bersumber dari anggaran Instansi Teknis yang bersangkutan.
(5) Dalam hal Instansi Teknis telah memiliki satuan kerja yang tugas dan fungsinya di bidang standardisasi, maka tugas dan fungsi Komite Standar Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tugas satuan kerja yang bersangkutan.
Pasal 6
Tim Perumus SKKNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 bersifat ad hoc, dibentuk oleh Komite Standar Kompetensi dengan tugas:
a. menyusun Rancangan SKKNI di sektor atau lapangan usaha masing-masing; dan
b. melakukan kaji ulang Rancangan SKKNI.

Pasal 7
Tim Verifikasi SKKNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 bersifat ad hoc, dibentuk oleh Komite Standar Kompetensi dengan tugas melakukan verifikasi Rancangan SKKNI di Instansi Teknis masing-masing sebelum pra konvensi.  

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014
TENTANG PERINDUSTRIAN,
Pembangunan Sumber Daya Industri,  meliputi pembangunan sumber daya manusia , dan pemanfaatan sumber daya alam

Pasal 18
(1) Pembangunan tenaga kerja Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) huruf b dilakukan untuk menghasilkan tenaga kerja Industri yang mempunyai kompetensi kerja di bidang Industri sesuai dengan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia meliputi: a. kompetensi teknis; dan b. kompetensi manajerial.
(2) Pembangunan tenaga kerja Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit melalui kegiatan: a. pendidikan dan pelatihan; dan b. pemagangan.
(3) Pembangunan tenaga kerja Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan terhadap tenaga kerja dan calon tenaga kerja.
(4) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh: a. lembaga pendidikan formal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. lembaga pendidikan nonformal; c. lembaga penelitian dan pengembangan yang terakreditasi; atau d. Perusahaan Industri.

Pasal 19
(1) Tenaga kerja Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) terdiri atas: a. tenaga teknis; dan b. tenaga manajerial.
 (2) Tenaga teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit memiliki: a. kompetensi teknis sesuai dengan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di bidang Industri; dan b. pengetahuan manajerial.
(3) Tenaga manajerial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memiliki: a. kompetensi manajerial sesuai dengan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di bidang Industri; dan b. pengetahuan teknis.

Pasal 25
(1) Menteri menyusun Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di bidang Industri.
(2) Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di bidang Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan atas usul Menteri.
(3) Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di bidang Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak diterima usulan Menteri.
(4) Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan tidak ditetapkan, Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan berlaku oleh Menteri sampai dengan ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
(5) Untuk jenis pekerjaan tertentu di bidang Industri, Menteri menetapkan pemberlakuan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia secara wajib.
(6) Dalam hal Menteri menetapkan pemberlakuan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri wajib menggunakan tenaga kerja Industri yang memenuhi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia.
(7) Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang tidak menggunakan tenaga kerja Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. penutupan sementara;
d. pembekuan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri; dan/atau e. pencabutan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri.
(8) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif dan besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Analis Materil UU no 3 th 2014 terkait SDM
Dalam Undang-Undang yang terdiri dari 17 bab dan 125 pasal ini diatur hal-hal yang penting dan strategis dalam rangka pengembangan dan pembangunan industri nasional, antara lain:
(1) Pembangunan Sumber Daya Industri, yang meliputi pembangunan sumber daya manusia, pemanfaatan sumber daya alam, pengembangan dan pemanfaatan teknologi industri, pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi, serta penyediaan sumber pembiayaan;
(2) Pembangunan sarana dan prasarana industri yang meliputi standardisasi industri, infrastruktur industri, dan sistem informasi industri nasional;
(3) Pemberdayaan industri yang meliputi pemberdayaan industri kecil dan industri menegah, pembangunan industri hijau, penguasaan atas industri strategis yang vital bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, peningkatan penggunaan produk dalam negeri, serta kerjasama internasional di bidang industri;
(4) Tindakan pengamanan dan penyelamatan industri nasional dalam menghadapi persaingan global; serta
(5) Pembentukan Komite Industri Nasional dalam rangka koordinasi dalam pembangunan industri untuk mewujudkan kegiatan industri yang saling bersinergi menuju penguatan struktur perekonomian nasional.

Dalam kontek penguatan struktur perekonomian nasional peran pendidikan sebagai pemasok tenaga kerja atas kebutuhan industri yang memenuhi kebutuhan diberbagai sektor seyogyanya harus bekerja atas regulasi yang berlaku di sektor tersebut, sebaliknya sektor juga harus melakukan sinergitas dengan regulasi yang mengikatnya secara nasional sesuai dengan hak, tanggungjawab dan kewajiban nya

Sebagai salah satu Contoh tenaga kerja di sektor ketenagalistrikan
Sertifikasi Kompetensi Tenaga Teknik Kelistrikan, Upaya Pemerintah untuk menata dan membenahi sistem pengelolaan usaha jasa ketenagalistrikan melalui Dirjen Ketenaga listrikan  Kementerian ESDM, bagaimanakah agar bisa memberikan hasil yang optimal sebagaimana diamanatkan oleh UU 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan. Akan dibahas khusus dalam LSK vs LSP,


Peraturan Menteri (Permen ESDM) No.10 Tahun 2016  ditanda tangani oleh menteri Sudirman Said.    Dengan berdasarkan ketentuan Pemerintah lewat Kementerian ESDM, di Indonesia saat ini telah ditetapkan ada 2804 unit Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan yang meliputi bidang usaha Pembangkitan, Transmisi, Distribusi dan Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik.
Sesuai  ketentuan pasal 25  PERMEN ESDM No.10 Tahun 2016, bahwa Tenaga Teknik Ketenagalistrikan yang akan bekerja di unit-unit Kompetensi, wajib memiliki Sertifikat Kompetensi yang diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Kompetensi (LSK) yang telah di akreditasi oleh Kementerian ESDM.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 2015
TENTANG
PEMBANGUNAN SUMBER DAYA INDUSTRI
Bagian Kedua
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia dan
Sertifikasi Kompetensi
Paragraf 1
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia
Pasal 11
(1) Menteri menyusun SKKNI di bidang Industri.
(2) SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan kebutuhan Industri yang paling sedikit memuat pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian, serta sikap kerja.
(3) Dalam menyusun SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat melibatkan asosiasi profesi, asosiasi Industri, dan/atau pelaku usaha Industri.
(4) SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diusulkan oleh Menteri kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan untuk ditetapkan.
(5) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan menetapkan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya usulan Menteri.
(6) Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan tidak ditetapkan, SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dinyatakan berlaku oleh Menteri sampai dengan ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
(7) Penerapan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan berdasarkan kualifikasi nasional dan/atau klaster kompetensi.
(8) Penerapan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan pada lembaga Pendidikan Vokasi Industri berbasis kompetensi, lembaga Pelatihan Industri Berbasis Kompetensi, LSP, Perusahaan Industri, dan/atau Perusahaan Kawasan Industri.

Pasal 12
(1) Untuk jenis pekerjaan tertentu di bidang Industri, Menteri menetapkan pemberlakuan SKKNI secara wajib.
(2) Jenis pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pekerjaan yang memiliki risiko tinggi terhadap keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan bagi Tenaga Kerja Industri dan/atau produk yang dihasilkan.
(3) Dalam hal Menteri menetapkan pemberlakuan SKKNI secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri wajib menggunakan Tenaga Kerja Industri yang memenuhi SKKNI.

Paragraf 2
Sertifikasi Kompetensi
Pasal 13
(1) Sertifikasi Kompetensi dimaksudkan untuk memastikan kualitas Tenaga Kerja Industri sesuai kebutuhan dan persyaratan kerja.
(2) Sertifikasi Kompetensi bagi Tenaga Kerja Industri dilaksanakan untuk mewujudkan kesesuaian antara sistem pengupahan dengan produktivitas kerja guna memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi Tenaga Kerja Industri.
(3) Sertifikasi Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui uji kompetensi oleh LSP yang telah memperoleh lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi.
(4) Pembentukan LSP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh asosiasi profesi, asosiasi Industri, pelaku usaha Industri, lembaga pendidikan, dan/atau lembaga pelatihan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Menteri, gubernur, bupati/walikota, kamar dagang dan industri, dan asosiasi Industri memfasilitasi pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi Tenaga Kerja Industri.

Bagian Ketiga
Penggunaan Tenaga Kerja Industri dan Konsultan Industri
Pasal 14
Tenaga Kerja Industri yang digunakan oleh Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri meliputi:
a. Tenaga Kerja Industri nasional; dan/atau
b. Tenaga Kerja Industri Asing.

TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 40
Setiap Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri yang menggunakan Tenaga Kerja Industri yang tidak memenuhi SKKNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. penutupan sementara;
d. pembekuan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri; dan/atau
e. pencabutan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri.

Pasal 42
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41 kepada Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan hasil pemeriksaan atas laporan yang berasal dari:
a. pengaduan; dan/atau
b. tindak lanjut hasil pengawasan.
Pasal 43                                            
(1) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan ditemukan bahwa Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) atau Pasal 19 ayat (1), Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis.
(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu masing-masing 30 (tiga puluh) hari.

Pasal 44
(1) Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang telah dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan tidak memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa denda administratif.
(2) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan paling banyak:
a. 1% (satu persen) dari nilai investasi bagi Perusahaan Industri; dan
b. 1 o/oo (satu per mil) dari nilai investasi bagi Perusahaan Kawasan Industri.
(3) Pembayaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak surat pengenaan denda administratif diterima.
(4) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan negara bukan pajak atau penerimaan daerah.

Dan pasal pasal selanjutnya mengenai mekanisme sangsi, dalam penerapan nya yang juga harus lah dibuat dalam SOP, SOP yang implementatatif.